Monday, November 10, 2008

Dinamika Pengobatan Herbal


Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya untuk makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk, parfum, dan bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan. Sehingga kekayaan alam di sekitar manusia sebenarnya sedemikian rupa sangat bermanfaat dan belum sepenuhnya digali, dimanfaatkan, atau bahkan dikembangkan.

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun Lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar E Y, 2006).

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara didunia. Menurut WHO, negara negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan diAfrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal dinegara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat,

adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E

Y, 2006).

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama

untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003).

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Tren untuk kembali ke obat-obat alami juga diakui Ir. Yuli Widyastuti dari Balai Penelitian dan pengembangan Tanaman Obat (BPT) Depkes di Tawangmanggu. Menurut beliau, peminat obat dari bahan alami kini sedang booming, karena tren kembali ke alam, obat-obat konvensional mulai resisten, munculnya penyakit-penyakit baru, efek samping obat kimia ada yang merugikan kesehatan.

Obat-obatan yang diproduksi dari sintesa bahan kimia memang manjur mengobati penyakit, namun di sisi lain juga bisa berdampak efek samping negatif. Namun, kini banyak pakar kesehatan luar negeri-berdasarkan penelitian-menyimpulkan bahwa terapi yang efektif dan paling aman untuk jangka panjang adalah yang bersifat alamiah.

Hal inilah yang menggugah kesadaran masyarakat negara maju kembali ke alam. Di Indonesia pun penggunaan obat-obatan tradisional juga tergolong tinggi. Mengutip data dari Departemen Kesehatan, Dirut International Herbal Center, Rusdiyanto, dalam Seminar Nasional Obat Herbal dan Akupunktur di Jakarta, Sabtu (3/7) menyebutkan, 58,6 % dari 53 juta penduduk yang sakit di Indonesia menggunakan obat alam atau berobat di klinik tradisional. Selain penggunaan obat tradisional ditempuh pula pengobatan alternatif seperti akupunktur, akupresur, terapi jus, terapi diet, dan terapi aroma.

Kecenderungan gaya hidup ”Back to Nature” menyebabkan penggunaan obat tradisional, obat herbal, maupun suplemen makanan cenderung meningkat. Semakin banyaknya fasilitas-fasilitas yang mendukung dan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap penggunaan obat herbal, misalnya klinik-klinik herbal dan balai-balai pengobatan herbal juga terbukti meningkatkan angka penggunaan obat-obatan herbal di Indonesia.

Klinik-klinik herbal dan balai-balai pengobatan herbal ini telah secara berhasil melayani kebutuhan pasien untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Misalnya sebagai contoh, tiga klinik herbal dan satu balai bengobatan herbal yang telah dibuka pada April 2001 di Jakarta telah berkembang menjadi 16 klinik herbal dan 48 balai pengobatan herbal pada Juli 2006. Disamping itu pada periode yang sama banyak klinik herbal dan balai pengobatan herbal lain yang dibuka oleh lembaga lain.

Kepercayaan masyarakat terhadap herbal sebagai obat alternatif di luar pengobatan modern memang tak pernah luntur oleh zaman. Kepercayaan terhadap obat herbal sempat surut ketika bermacam obat modern ditemukan, namun gerakan back to nature (kembali ke alam) membuat pamor herbal naik lagi. Prof. Dr. Siddik, S.Apt., mengakui kembalinya tanaman herbal menjadi primadona ketika masyarakat menyadari bahwa hampir tak ada efek samping yang ditimbulkannya. "Konsumsi saja tanaman yang sudah dikenal sebagai tanaman obat. Tak akan ada efek sampingnya," yakin Siddik.

Selain tak ada efek kimianya, lebih banyak lagi orang mengonsumsi herbal dengan alasan menyiasati ekonomi yang lemah. Ketidakkberdayaan ekonomi untuk menjangkau obat-obatan dari apotek membuat banyak orang beralih pada herbal. Namun tanaman obat yang sudah diproduksi secara lebih modern menjadi tidak lagi menjadi terlalu murah. Biaya produksi menyebabkan tanaman alam yang bisa dipetik dari pekarangan sendiri ini dan sudah dikemas menjadi relatif mahal. Kendati demikian masih murah dibanding obat-obatan modern. Dibanding masa lalu ketika tanaman obat belum tersentuh sama sekali dalam kemasan modern, para dokter jarang yang mau merekomendasikannya. Kini banyak dokter yang sudah meresepkan obat dari herbal pada pasiennya.

Kecenderungan untuk kembali ke alam memang sangat menggejala beberapa dekade terakhir ini. Hal tersebut tidak saja berlaku di Indonesia atau negara-negara Asia lainnya, namun juga di negara-negara Eropa dan Amerika. Pengobatan menggunakan obat-obat alam semakin banyak peminatnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Sekretariat CBD (Convention on Biological Diversity) penjualan obat herbal pada tahun 2000 mencapai US$ 60.000 juta (enam puluh ribu juta dolar Amerika), suatu jumlah yang cukup banyak.

Dan sekitar 25% dari pasar obat herbal itu ada di negara-negara maju, yaitu Kanada, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa. Dokter-dokter di negara-negara tersebut bahkan sudah biasa menuliskan resep obat herbal untuk pasien-pasiennya, dalam hal ini mungkin mereka lebih maju dari pada kita. National Institute of Health, yaitu Departemen Kesehatannya Amerika Serikat, sejak tahun 1995 telah merekomendasikan masuknya materi tentang pengobatan alternatif dan komplementer dalam kurikulum fakultas kedokteran. Dan survey yang dilakukan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 60% sekolah kedokteran di Amerika Serikat telah menawarkan materi tentang pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif dalam kurikulumnya. Jadi sebenarnya, cerita bahwa obat dan pengobatan tradisional bukan merupakan salah satu materi yang dibicarakan dalam kedokteran Barat sudah lama berlalu.

Dijelaskan Direktur Obat Asli Indonesia Badan Pengawas Obat dan Makanan, Ketut Ritiasa, Indonesia termasuk 25 negara yang telah memiliki dan menerapkan kebijakan obat bahan alam. Kebijakan nasional dan kerangka regulasi mencakup pengakuan oleh provider, integrasi ke dalam sistem kesehatan nasional, pengelolaan sumber daya untuk pengembangan obat bahan alam dan pemberdayaan masyarakat.

Saat ini masalah dalam pengembangan obat bahan alam di antaranya kurangnya pembuktian keamanan dan khasiat obat tersebut, sehingga tidak memenuhi kriteria untuk dapat diterima dan digunakan dalam pelayanan kesehatan.

3 comments:

Anonymous said...

Blog anda bagus ko....
Salam kenal....

Anonymous said...

Terima kasih atas infonya...
Semoga sukses....

Anonymous said...

Thanks ya atas infonya...
Sangat bermanfaat...